Rabu, 11 Maret 2009

TUT WURI MBAHAYANI



Membaca artikel Boss Ahmad tentang bagaimana seorang pejabat penting yang membuat semua orang harus menunggu saat pekan panutan yang semula dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada khalayak bahwa pejabat tersebut adalah panutan membuat saya terpaksa harus membuka kamus dengan beberapa alasan. pertama, pejabat yang disebutkan dalam artikel tersebut sama dengan yang pejabat dalam tulisan saya tentang Sunset Policy karena secara kebetulan saya dengan Boss Ahmad bekerja dalam team yang sama. Kedua, saya ingin tahu apa sebenarnya arti panutan itu.

Hasilnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka 2003 panutan berarti teladan atau patut dicontoh. Saya langsung berpikir bahwa pekan panutan tersebut bisa menjadi ‘blunder’ (kata ini tidak ada dalam Kamus Bahasa Indonesia) karena membuat masyarakat malah semakin bersikap apatis dengan berpikir “wah pejabatnya saja seperti itu dalam memenuhi kewajibannya, asal-asalan, masak kita ‘wong cilik’ saja yang disuruh patuh membayar pajak.

Saya jadi teringat pepatah jawa yang saya pelajarai waktu Sekolah Dasar dulu tentang kepemimpinan yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro yaitu “Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tutwuri Handayani’. Karena saya bukan ‘wong Jowo’ seperti Letto namun kalau tidak salah ingat, guru saya dulu mengatakan bahwa falsafah itu berarti bahwa sebagai pemimpin, jika berada di depan dia harus memberikan teladan, jika di tengah memberi semangat , sedangkan jika berada di belakang seorang pemimpin akan memberikan dorongan kepada bawahan atau ‘anak buah’nya agar maju. Pemimpin seperti itu seperti yang dimaksudkan oleh Sun Tzu yaitu ‘pemimpin yang membuat rakyat menyetujui dan sepenuh hati mendukung penguasa, serta bersedia mengikutinya dalam hidup atau mati tanpa takut menghadapi bahaya”. Melihat gaya para pemimpin saat ini, saya terus terang saja meragukan tentang adanya pemimpin yang ideal seperti yang diimpikan oleh Ki Hajar Dewantara.

Waktu kecil dulu saya diajarkan bahwa kita adalah warganegara Indeonsia yang menganut prinsip Bhineka Tunggal Ika, Semboyan negara kita yang dicengkeram erat oleh burung garuda yang kurang lebih berarti bahwa walaupun kita memiliki keragaman baik suku bangsa,bahasa, budaya, agama, keyakinan dan seterusnya namun kita merupakan satu kesatuan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia yang biasanya disingkat NKRI sehingga perbedaan merupakan suatu hal yang perlu disyukuri karena dengan perbedaan itu kita belajar mengenal tenggang rasa dan tepo seliro “Maaf kalau saya salah kutip” atau menyitir salah satu hadits yang menyatakan bahwa perbedaan di antara kalian adalah rahmat.

Bayangkan kita melihat dalam kancah perpolitikan dewasa ini, para pemimpin kita saling memperlihatkan cara menggapai kekuasaan dengan cara-cara yang membuat kita sebagai masyarakat awam merasa muak. Bagaimana anggota Dewan yang terhormat yang terpilih untuk mewakili rakyat yang tak bisa bersuara hanya bisa menjadi ‘pencoleng’ dan ribut bila menyangkut kepentingan mereka sendiri namun diam bila menyangkut kepentingan rakyat yang bisa merugikan posisi mereka.

Perbedaan pendapat dalam partai bukannya disikapi dengan arif dan mencari solusi atau titik temu tetapi malah membuat partai lagi. Bayangkan dalam pemilihan umum yang sebentar lagi akan terlaksana ada banyak sekali partai yang untuk menghapalnya pun susah sekali.

Saya jadi teringat dengan tulisan yang ada di belakang bak sebuah truk ‘ Tut Mburi Mbahayani’ yang jika diartikan secara harfiah memberikan pesan bahwa ‘Siapa yang Ikut dibelakang Truk harus hati-hati karena berbahaya”. Menurut saya pesan tersebut lebih cocok disampaikan oleh para pemimpin di negeri ini yaitu bahaya jika kita mengikuti jejak mereka karena mereka tidak patut dicontoh. Bagaimana kita harus mencontoh atau meneladani pola perilaku yang salah sehingga “ing Ngarso sun Tulodo” diplesetkan oleh teman saya menjadi “Ing Ngarso (maaf) Sontoloyo” sedangkan ‘Ing Madya”-nya ditambahin ‘Mangun Kaco” jadi pemimpin yang berada ditengah tengah bukannya memberikan semangat malah membuat semuanya jadi berantakan.

Akhir kata tidak semua pimpinan seperti itu, kita tidak bisa menggeneralisir suatu masalah dari hanya satu atau beberapa kasus, namun itu menjadi semacam ‘muhasabah’ bagi diri sendiri karena ada salah satu hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya”. So jadilah pemimpin yang baik bukan pemimpin seperti yang diplesetkan oleh supir truk tadi. Mengutip pesan dari salah satu penceramah ‘ Mulailah dari diri sendiri”…..

Senin, 02 Maret 2009

ABS Dari Soekarno, Soeharto Hingga SBY



Jakarta - Istilah ABS bukan hanya muncul saat ini saja. Istilah ini ternyata sudah jadi idiom sejak pemerintahan Bung Karno. Bahkan saat Soeharto berkuasa, istilah ini semakin dikenal. Zaman SBY, ABS memicu kontroversi tersendiri. Apa beda ABS zaman Soekarno, Soeharto dan SBY?

"Istilah asal bapak senang sudah ada sejak zaman Soekarno. Istilah itu merujuk pada pada apapun yang diinginkan pemimpin," tutur sejarahwan Anhar Gonggong ketika berbincang dengan detikcom, Selasa (3/2/2009).

Anhar lalu bercerita bahwa pada zaman Bung Karno, istilah asal bapak senang seringkali dipraktekkan Ruslan Abdul Gani, yang menjabat sebagai Juru Bicara Presiden.

"Ruslan Abdul Gani itu di zaman Soekarno mirip Harmoko kalau di zaman Soeharto. Dia menjabat Jubir. Soekarno menyebutnya Jubir Usman. Usman itu singkatan dari usdek manipol. Apa yang dikatakan jadilah..," terang Anhar.

Sementara itu, pada cerita lain, munculnya istilah ABS pada zaman Soekarno berawal dari sebuah band yang digawangi oleh anggota pasukan cakrabirawa. Selain mengawal presiden, para pasukan ini juga membentuk band untuk menghibur dan bernyanyi untuk Soekarno. Menurut Amelia Yani, putri Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, band pasukan Cakrabirawa ini diberi nama Asal Bapak Senang (ABS).

"Yang menarik nama band dari pengawal presiden itu bernama Asal Bapak Senang. Nama band itu sesuai dengan keinginan dari pimpinannya yang pada saat itu juga terlihat senang sekali," cerita Yani Amelia, kepada detikcom.

Amelia Yani yang kini menjadi Ketua umum Partai Peduli Rakyat Nasional ini mengenal band ABS sewaktu Soekarno berkunjung ke rumahnya. Kunjungan mendadak itu terkait pengangkatan Jenderal Ahmad Yani menjadi Panglima Angkatan Darat. Karena pengangkatan itu, Ahmad Yani juga mendapatkan rumah dinas di Jalan Madiun, Jakarta.

"Soekarno datang pada sore hari menjelang malam, dan bernyanyi dengan band Cakrabirawanya sampai larut malam," cerita Amelia.

Menurut Amelia, penampilan ABS membuat perayaan pengangkatan Ahmad Yani menjadi makin meriah. Semua yang hadir termasuk Soekarno terlihat senang malam itu.

Zaman Soeharto, istilah ABS tidak lagi identik dengan nama band. Tidak ada lagi band penghibur presiden dengan nama ABS. Namun pada zaman Soeharto, istilah ABS makin dikenal. Hal ini dikarenakan karakter kepemimpinan Soeharto yang sentralistik sehingga menyebabkan banyak pejabat yang membuat laporan yang menyenangkan saja dan menutup-nutupi persoalan.

"Waktu zaman Soeharto, terkait dengan laporan-laporan ke atasan dalam praktek pembangunan. Makanya dulu terjadi jembatan runtuh, karena asal bapak senang aja. Kalau yang saya ingat, laporan ke atasan memuaskan, makanya dulu seakan-akan tidak ada kemiskinan, busung lapar, karena itu tidak disampaikan ke atasan. Padahal itu ada," timpal sejarahwan Asvi Warman Adam, ketika dihubungi terpisah.

Istilah ABS juga merasuki tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada waktu itu. "Termasuk di instansi ABRI semua tidak seakan-akan tidak ada masalah. Baru setelah Pangima TNI dijabat oleh M. Jusuf, dia turun langsung ke bawah. Barulah dia ketahui apa yang terjadi di bawah, dan melakukan perbaikan asrama ABRI yang ternyata sudah rusak," terangnya.

Zaman Habibie, Gus Dur dan Megawati, istilah ABS masih identik dengan singkatan asal bapak senang. Namun zaman SBY sekarang istilah ABS telah berubah dengan tendensi politik. Presiden SBY memperkenalkan singkatan ABS sebagai asal bukan capres S.

SBY mengungkapkan saat ini ada isu gerakan ABS di tubuh TNI namun meyakinkan isu tersebut tidak benar. Pernyataan SBY ini kontan memicu polemik. KSAD memeriksa benar tidaknya isu tersebut, bahkan mengumpulkan 60 jenderal untuk memperingatkan posisi TNI netral dalam pemilu. Lawan politik SBY menuding isu ABS dimanfaatkan SBY untuk menimbulkan kesan terzalimi dengan tujuan menarik simpati publik. ( gun / iy )

sumber :
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/02/03/142517/1078800/700/abs-dari-soekarno-soeharto-hingga-sby

Rabu, 25 Februari 2009

SUNSET POLICY UNTUK PEJABAT NEGARA (edited)

Berita di kompas.com menggelitik perasaan saya karena dua kandidat pejabat dalam struktur pemerintahannya, yakni Tom Daschle selaku calon menteri kesehatan dan layanan publik serta pejabat pengawas reformasi anggaran dan belanja negara Nancy Killefer, harus mundur dari pencalonan akibat skandal pajak. Obama mengaku teledor dan segera berusaha mencari pengganti yang pas.

Yang mengagetkan karena ternyata tuan Daschle tersebut sudah membayar pajak sebesar 128.000 dolar dan bunganya 12.000 dolar bulan lalu tetapi masih dianggap bersalah karena tidak melaporkan kepemilikam sebuah mobil dan sopir yang diperoleh dari teman dan klien yang pernah dibantunya sedangkan Killefer tak membayar pajak untuk rumahnya senilai USD 946.69.

Saya memiliki kisah yang nyata tentang pejabat di negeri ini yang semua pejabatnya pasti telah mengikuti penataran P4 , pertama tentang pejabat bupati di satu daerah yang sangat kaya raya, namun berdasarkan data pada master file di Kantor Pelayanan Pajak ternyata tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Saat itu karena bertugas di Kanwil (2004) data tersebut dikirimkan ke KPP untuk ditindaklanjuti. Namun himbauan tersebut tidak ditanggapi oleh pejabat tersebut. Ironisnya beberapa tahun kemudian saya membaca koran bahwa yang bersangkutan di tangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat penggelapan uang negara.

Kejadian kedua saya temukan saat memeriksa profil pejabat pemerintah daerah melalui master file Kantor Pelayanan Pajak dan hasilnya ada seorang petinggi daerah telah memiliki NPWP namun tidak pernah melaporkan kewajibannya, malahan “sang petinggi” tersebut punya tunggakan pajak yang sebenarnya secara nominal tidak terlalu besar namun sangat mengganggu karena petugas jurusita telah melakukan prosedur penagihan sampai dengan penerbitan Surat Paksa.

Kami mencoba melakukan pendekatan persuasif dengan melakukan kunjungan kepada pejabat tersebut bersama Kepala KPP. Hasilnya adalah ceramah tentang pentingnya pajak bagi pembangunan negeri ini dari beliau dan kita harus menjadi pendengarnya karena beliau diharapkan ikut dalam pekan panutan sebagai pejabat yang harus di teladani dan akan diliput media masa.

Ketiga, sepanjang perjalanan menuju kantor saya melihat banyak sekali poster tokoh-tokoh yang dengan semangat empat lima layaknya “the founding fathers” dan pejuang 45 mengumbar janji dan harapan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini ke depan.

Muncul semacam keraguan di hati ini, bagaimana mereka bisa berani untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang akan mereka wakili jika untuk urusan yang “sepele” ini mereka tidak bisa jujur. Bagaimana mereka berani mengatakan memiliki jiwa nasionalisme jika mereka hanya bisa berkoar tanpa melakukan upaya agar bangsa ini bisa membiayai kegiatannya secara mandiri melalui secuil pajak yang menjadi kewajibannya.

Timbul pertanyaan ; Kapan yah di republik yang katanya Pancasilais ini ada pejabat yang mengundurkan diri karena malu tidak membayar pajak dengan semestinya? Mengikuti jejak dua calon anggota cabinet Obama yang dengan gagah berani mengakui kesalahan mereka, karena konon masih banyak pejabat yang memiliki NPWP pun tidak padahal dia dibayar atau digaji dengan uang pajak yang diperoleh dari rakyat.

Pertanyaan terakhir, masih perlukah acara seremonial yang hanya akan menyakiti rakyat kecil yang tahu bahwa mereka selama ini dibohongi.

Akhirnya karena program sunset policy diperpanjang Direktorat Jenderal Pajak sampai 28 Pebruari 2009, saya hanya bisa mendoakan (selemah-lemahnya iman) agar para pejabat yang belum melaksanakan kewajibannya dengan benar selama ini bisa sadar dan mengikuti program tersebut

Selasa, 24 Februari 2009

GIGOLO

Dalam film “Enemy of The State” pacar Will Smith menyatakan bahwa institusi Pajak di Amerika Serikat (IRS) mengaudit kekayaannya karena pola atau gaya hidupnya tidak sesuai dengan penghasilannya. Dengan kata lain penghasilan yang dimiliki dia menurut IRS tidak dapat membiayai pola hidupnya yang terbilang glamour, karena itu perlu dilakukan audit untuk pembuktiannya. Kasus tersebut berkaitan dengan masalah yang penting yaitu data. IRS memiliki data yang akurat sehingga melakukan audit terhadap wajib pajak. Sebaliknya masih hangat dalam ingatan kita ketika beberapa tahun lalu program 10 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diluncurkan. Niat yang sangat baik tersebut dalam pelaksanaannya menuai banyak protes akibat tidak dilakukannya pengecekan ulang terhadap data yang telah dikumpulkan dari berbagai institusi.

Darrel Huff (2002;82) dalam bukunya ”How To Lie With Statistic” yang mengatakan bahwa jangan mengutip data statistik India begitu saja karena pemerintahan India sangat bersemangat dengan angka-angka statistik yang menakjubkan itu. Mereka mengumpulkannya, mejumlahkannya, membilangnya hingga bilangan ke-n, menarik akar kuadrat, dan menyusun diagram yang memikat. Tetapi jangan lupa bahwa semua angka-angka dalam data itu berasal dari ketua Rukun Tetangga yang hanya mencantumkan apapun seenak perutnya.

Hal itu yang mungkin terjadi saat itu sehingga data yang diterima dari berbagai pihak yang mungkin sudah berubah karena tidak pernah diperbaharui sedangkan data kependudukan selalu dinamis. Kita menjadi administratur seperti yang katakan Darrel Huff yaitu hanya percaya pada data yang diisi seenaknya oleh pemberi data tanpa melakukan pengujian lagi.

Dalam kasus lain, John Perkins (2007) menjelaskan tentang bagaimana keruntuhan ekonomi indonesia dirancang dengan menyiapan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita (GNP), dan berbagai indikator lain yang dipalsukan dan dilaporkan keada IMF dan World bank. Para eksekutif kedua lembaga itu pura-pura terpesona kepada berbagai indikator yang angkanya dicatut para bandit ekonomi itu dan segera menyalurkan utang. John Perkins juga menyatakan bahwa indonesia merupakan tempat dengan data statistik yang bagus namun realitasnya buruk, padahal jika data yang digunakan dalam input suatu proses adalah data yang tidak baik atau tidak valid (data sampah) maka outputnya tentu adalah data yang tidak berkualitas yang kita kenal dengan istilah Garbage In Garbage Out (GIGO).

Apabila output yang tidak berkualitas itu yang digunakan untuk pengambilan keputusan maka outcome yang dihasilkan juga sampah . Akibat data sampah yang dimasukkan dan sesuai dengan harapan (Low Outcome) sehingga keseluruhannya sering diplesetkan menjadi GIGOLO (Garbage In Garbage Out Low Outcome).
Richard Philip Feynman (1985;328) pemenang Nobel Fisika tahun 1965 mengilustrasikan tentang penggunaan data yang salah melalui cerita mengenai panjang hidung kaisar China. Sebagaimana diketahui bahwa di China tidak ada yang diperkenankan untuk melihat kaisar China, ketika ada yang menanyakan berapa panjang hidung kaisar China? Untuk menemukan jawabannya, orang pergi ke seluruh penjuru China dan bertanya pada rakyat berapa panjang hidung kaisar China. Jawaban itu lalu dirat-ratakan untuk menyimpulkan panjang hidung kaisar China. Jawaban itu sangat akurat karena kita merata-ratakan hasil penilaian sekian banyak oarang, tetapi itu bukan cara menemukan jawabannya; Jika ada sejumlah besar orang yang memberi masukan tanpa melihat dengan teliti, pengetahuan kita tentang sesuatu sebenarnya tidak menjadi lebih baik.
Upaya untuk memperbaiki data base kependudukan dan lainnya secara simultan untuk kepentingan yang lebih besar melalui program Single Identification Number (SIN) dimana hanya ada hanya satu nomor identitas yang unik untuk semua kegiatan sebagai penyederhanaan dari sekian banyaknya nomor identitas yang ada beberapa tahun lalu sebenarnya sangat bagus, sayang dalam perjalanannya mengalami kendala dan tidak bisa berjalan akibat munculnya ego sektoral dan orientasi proyek dari beberapa departemen atau lembaga sehingga niat baik itu akhirnya hanya menjadi semacam utopia, padahal negara tetangga kita seperti malaysia telah menerapkan SIN sejak 1996.
Saran kami, perlu koordinasi dari semua ‘stakeholder’ dengan melepaskan egosektoral untuk kepentingan yang lebih besar. Sekarang ada Pasal 35 A dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan dimana setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak, namun dalam prakteknya susah sekali untuk mendapatkan data dari pihak ketiga.
Selanjutnya Upaya Dirjen Pajak memulai dengan pembuatan database yang akurat dengan pembuatan mapping dan profile perlu didukung sebelum adanya SIN yang hanya ada dalam mimpi sehingga ke depannya tidak ada lagi fenomena “gigolo” Garbage In Garbage Out Low Outcome Numbedi Direktorat Jenderal Pajak. Terakhir agar program sejenis Single Identification Number (SIN), apapun namanya dapat diteruskan sehingga dengan dukungan database yang terintegrasi kemandirian pembiayaan pembangunan melalui pajak dapat terwujud. Semoga..............

Senin, 16 Februari 2009

Counter isu HAM

Penindasan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia jaman Orde baru telah menimbulkan sejumlah masalah pelik bagi pemerintah Indonesia. Hubungan diplomatik dan bantuan keuangan yang selalu dikaitkan dengan praktek HAM membuat wajah diplomasi Indonesia semakin babak belur. Untuk itu Pangab memerintahkan agar BIA, BAKIN dan Bakorstanas bekerjasama dengan Deppen menggelar serangkaian diskusi dengan tema "Dalam Pancasila Sudah Ada Nilai Penegakan HAM".

Sejumlah undangan, surat pemberitahuan dan konsep iklan dibuat. Sebuah buku program acara juga dicetak untuk melengkapi. Dalam program acara tertulis kata-kata: "Kebebasan Berpendapat. Kebebasan Pers. Wartawan Dilarang Masuk".

Minggu, 15 Februari 2009

Apakah Tuhan itu Ada?

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru agama, kiai atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut.

Pemuda: Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?

Kyai: Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda

Pemuda: Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.

Kyai: Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya

Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan
  1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya
  2. Apakah yang dinamakan takdir Kalau syetan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syetan Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba Kyai tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.

Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?

Kyai: Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya

Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti

Kyai: Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit

Kyai: Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?

Pemuda: Ya

Kyai: Tunjukan pada saya wujud sakit itu !

Pemuda: Saya tidak bisa

Kyai: Itulah jawaban pertanyaan pertama: kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.

Kyai: Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?

Pemuda: Tidak

Kyai: Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?

Pemuda: Tidak

Kyai: Itulah yang dinamakan Takdir

Kyai: Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?

Pemuda: kulit

Kyai: Terbuat dari apa pipi anda?

Pemuda: kulit

Kyai: Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda: sakit

Kyai: Walaupun Syeitan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, Jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan Menjadi tempat menyakitkan untuk syeitan.

Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

dari milis tetangga...

Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa- mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "ApakahTuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja," jawab si Profesor.

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -46'F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas".

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.