Selasa, 24 Februari 2009

GIGOLO

Dalam film “Enemy of The State” pacar Will Smith menyatakan bahwa institusi Pajak di Amerika Serikat (IRS) mengaudit kekayaannya karena pola atau gaya hidupnya tidak sesuai dengan penghasilannya. Dengan kata lain penghasilan yang dimiliki dia menurut IRS tidak dapat membiayai pola hidupnya yang terbilang glamour, karena itu perlu dilakukan audit untuk pembuktiannya. Kasus tersebut berkaitan dengan masalah yang penting yaitu data. IRS memiliki data yang akurat sehingga melakukan audit terhadap wajib pajak. Sebaliknya masih hangat dalam ingatan kita ketika beberapa tahun lalu program 10 juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diluncurkan. Niat yang sangat baik tersebut dalam pelaksanaannya menuai banyak protes akibat tidak dilakukannya pengecekan ulang terhadap data yang telah dikumpulkan dari berbagai institusi.

Darrel Huff (2002;82) dalam bukunya ”How To Lie With Statistic” yang mengatakan bahwa jangan mengutip data statistik India begitu saja karena pemerintahan India sangat bersemangat dengan angka-angka statistik yang menakjubkan itu. Mereka mengumpulkannya, mejumlahkannya, membilangnya hingga bilangan ke-n, menarik akar kuadrat, dan menyusun diagram yang memikat. Tetapi jangan lupa bahwa semua angka-angka dalam data itu berasal dari ketua Rukun Tetangga yang hanya mencantumkan apapun seenak perutnya.

Hal itu yang mungkin terjadi saat itu sehingga data yang diterima dari berbagai pihak yang mungkin sudah berubah karena tidak pernah diperbaharui sedangkan data kependudukan selalu dinamis. Kita menjadi administratur seperti yang katakan Darrel Huff yaitu hanya percaya pada data yang diisi seenaknya oleh pemberi data tanpa melakukan pengujian lagi.

Dalam kasus lain, John Perkins (2007) menjelaskan tentang bagaimana keruntuhan ekonomi indonesia dirancang dengan menyiapan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita (GNP), dan berbagai indikator lain yang dipalsukan dan dilaporkan keada IMF dan World bank. Para eksekutif kedua lembaga itu pura-pura terpesona kepada berbagai indikator yang angkanya dicatut para bandit ekonomi itu dan segera menyalurkan utang. John Perkins juga menyatakan bahwa indonesia merupakan tempat dengan data statistik yang bagus namun realitasnya buruk, padahal jika data yang digunakan dalam input suatu proses adalah data yang tidak baik atau tidak valid (data sampah) maka outputnya tentu adalah data yang tidak berkualitas yang kita kenal dengan istilah Garbage In Garbage Out (GIGO).

Apabila output yang tidak berkualitas itu yang digunakan untuk pengambilan keputusan maka outcome yang dihasilkan juga sampah . Akibat data sampah yang dimasukkan dan sesuai dengan harapan (Low Outcome) sehingga keseluruhannya sering diplesetkan menjadi GIGOLO (Garbage In Garbage Out Low Outcome).
Richard Philip Feynman (1985;328) pemenang Nobel Fisika tahun 1965 mengilustrasikan tentang penggunaan data yang salah melalui cerita mengenai panjang hidung kaisar China. Sebagaimana diketahui bahwa di China tidak ada yang diperkenankan untuk melihat kaisar China, ketika ada yang menanyakan berapa panjang hidung kaisar China? Untuk menemukan jawabannya, orang pergi ke seluruh penjuru China dan bertanya pada rakyat berapa panjang hidung kaisar China. Jawaban itu lalu dirat-ratakan untuk menyimpulkan panjang hidung kaisar China. Jawaban itu sangat akurat karena kita merata-ratakan hasil penilaian sekian banyak oarang, tetapi itu bukan cara menemukan jawabannya; Jika ada sejumlah besar orang yang memberi masukan tanpa melihat dengan teliti, pengetahuan kita tentang sesuatu sebenarnya tidak menjadi lebih baik.
Upaya untuk memperbaiki data base kependudukan dan lainnya secara simultan untuk kepentingan yang lebih besar melalui program Single Identification Number (SIN) dimana hanya ada hanya satu nomor identitas yang unik untuk semua kegiatan sebagai penyederhanaan dari sekian banyaknya nomor identitas yang ada beberapa tahun lalu sebenarnya sangat bagus, sayang dalam perjalanannya mengalami kendala dan tidak bisa berjalan akibat munculnya ego sektoral dan orientasi proyek dari beberapa departemen atau lembaga sehingga niat baik itu akhirnya hanya menjadi semacam utopia, padahal negara tetangga kita seperti malaysia telah menerapkan SIN sejak 1996.
Saran kami, perlu koordinasi dari semua ‘stakeholder’ dengan melepaskan egosektoral untuk kepentingan yang lebih besar. Sekarang ada Pasal 35 A dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan dimana setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak, namun dalam prakteknya susah sekali untuk mendapatkan data dari pihak ketiga.
Selanjutnya Upaya Dirjen Pajak memulai dengan pembuatan database yang akurat dengan pembuatan mapping dan profile perlu didukung sebelum adanya SIN yang hanya ada dalam mimpi sehingga ke depannya tidak ada lagi fenomena “gigolo” Garbage In Garbage Out Low Outcome Numbedi Direktorat Jenderal Pajak. Terakhir agar program sejenis Single Identification Number (SIN), apapun namanya dapat diteruskan sehingga dengan dukungan database yang terintegrasi kemandirian pembiayaan pembangunan melalui pajak dapat terwujud. Semoga..............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar